Oct 3, 2010

Solidaritas dan Belas Kasihan Yang Salah Kaprah dan Menyesatkan!

Seseorang di FB menulis begini pada statusnya:

Doa seorang perempuan yg terlunta2 di Jakarta & terpaksa hrs menyewakan vagina-nya dg harga sgt murah: "Tuhan, hari ini kami mogok sholat lagi, sblm Engkau berikan keadilan pd kami, atas tindakan pemimpin kami, dan atas fatwa ulama kami"...

Setelah ada yang menanggapi, maka tautan berikutnya adalah ini:
Demikianlah, kisah seorang Sumiati dr Salatiga. Dia miskin bukan oleh takdir (Sebab tak ada manusia yg di takdirkan miskin). Dia di-miskin-kan oleh sistem negara yg tdk adil dan korup!

I know I know, maksudnya baik, mencoba menyuarakan "jeritan hati" "rakyat kecil yang tertindas, yang susah hidupnya", agar semakin banyak orang, semakin banyak pemimpin dan ulama mulai memikirkan nasib orang-orang yang "bernasib buruk" seperti ini.

Ok, maksudnya baik. Tapi perhatikan. Moga-moga Sumiati ini hanya tokoh khayalan, tidak ada bener2 Sumiati yang seperti itu. Tapi seandainya memang benar ada, perhatikan ini:

1. Mogok sholat sebelum Tuhan kasih keadilan ... what?? Attitude macam apa ini. Mogok makan protes sama DPR atau nungging ke Istana Negara sih masih mending, malah masuk TV, diwawancarai, dan jadi ngetop. Tapi mogok untuk protes kepada Yang Maha Tinggi? Kepada Yang Maha Kuasa? Yang menciptakan dia? Wow! Attitude macam begini kalau cuma end up hidup terlantar di Jakarta dan menyewakan vagina untuk bisa bertahan hidup harusnya bersyukur, karena artinya Tuhan masih panjang sabar. Coba yang jadi Tuhan aku, weleh sudah aku utus salah satu dari malaikat untuk menampar mulutnya yang kurang ajar dan tak tahu diri. Tuhan gak rugi kok kalau dia mogok sholat. Yang butuh berkat siapa memangnya. Enak aja datang2 langsung menuduh dan protes, emangnya loe siape.

2. "Dimiskinkan" oleh negara yang tidak adil dan korup! O ya? Siapa yang memilih untuk terus menerus tinggal di Jakarta walaupun tidak punya kerjaan. Ada banyak pilihan pekerjaan, buruh nyuci kek, jadi PRT kek, jualan rujak di terminal, jadi pemulung, dan masih banyak cara, termasuk pilihan pulang ke desa dan bertani atau jadi buruh tani. Dari sekian banyak itu, yang paling gampang memang menyewakan vagina. Nah siapa yang memutuskan untuk memilih yang paling gampang itu?

Ok, katakanlah memang benar memang tindakan pemimpin negara ini yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, katakanlah memang benar banyak pemimpin korup.  Tapi let's see.  Bukankah sejak kecil kita diajarkan bahwa setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, atas apa yang dilakukannya sendiri terhadap hidupnya.  Ok, baiklah, memang benar kadang orang yang sudah berusaha hidup baik tetap saja tertimpa kesulitan akibat perbuatan orang lain.   Ada area di dalam hidup kita yang memang bisa jadi terpengaruh oleh tindakan orang lain.  Tapi, wait, bagaimana diri sendiri merespon, inilah yang sangat menentukan.

Begitu banyak orang berteriak mengaku sebagai rakyat kecil, orang kecil, kaum marginal, dan seterusnya, dan pada saat yang sama mereka lupa bahwa just because mereka memutuskan untuk menganggap dirinya kecil bukan berarti bebas dari tanggungjawab atas hidupnya sendiri, atas pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang sudah diambilnya.  Ketika hidup mereka terasa semakin sulit, bukannya melihat pada diri sendiri apa saja yang sudah dilakukan selama ini, tetapi begitu mudah jari menuding yang pemerintah lah, yang ulama, yang boss, yang tetangga, dan seterusnya.  Pencari kerja, bekoar-koar mulutnya kesana kemari, katanya jaman sekarang susah cari pekerjaan, karena pemerintah yang tidak adil, karena pemerintah gagal mensejahterakan rakyatnya, pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan.  Ketika ditanya, berapa kali sudah kirim surat lamaran, berapa kali interview dan ditolak, jawabnya ... mmm (sambil matanya berputar berpikir) dan ternyata baru dua, tiga kali paling banyak. Baru berusaha cuma sampai sejauh hitungan jari satu tangan saja belum genap, tetapi telunjuk sudah menuding kanan kiri.

Pada saat yang sama, seorang teman mengatakan, begitu banyak orang yang tidak mau memberi kebaikan, bahkan kebaikan yang sederhana termasuk memilih diam saja ketika mereka tidak bisa atau tidak tahu bagaimana membuat keadaan menjadi lebih baik, at least tidak menambah buruk yang sudah buruk, tetapi mereka bingung kenapa hidup mereka susah terus.  Lupa bahwa keberuntungan-keberuntungan kecil setiap hari adalah hasil benih-benih kebaikan yang sudah pernah ditanam sebelumnya.  Exactly!

Tidak ada sebenarnya "orang kecil", "wong cilik" tidak ada dalam kitab agama apapun disebutkan Tuhan menciptakan manusia untuk dibuat kecil.  Tetapi manusia-manusia bodoh yang tidak mengenal penciptanya inilah yang terjebak pada iri dan dengki melihat yang lain hidupnya lebih baik, lalu membabtis diri sendiri menjadi "wong cilik" tetapi tidak mau berbuat hal yang besar untuk mengubah hidupnya menjadi orang besar. Yang dibesarkan selalu keluh kesah, iri, menyalahkan orang lain.

Yang menyedihkan, attitude yang seperti itu, yang jelas-jelas menyusahkan diri sendiri, malah dikasihani, dibela dengan membabi buta, berteriak "atas nama wong cilik".  Para "pahlawan wong cilik" ini ikut-ikutan keblinger, bahwa dengan solidaritas dan belas kasihan model seperti itu, para "wong cilik" ini selama-lamanya akan terus menerus berlindung dibalik excuse, dan selama-lamanya tidak akan pernah tumbuh menjadi besar, selama-lamanya akan menjadi "wong cilik", alias kunthet, umur semakin bertambah, tapi seperti bayi terus yang bisanya cuma merengek-rengek minta dikasihani, dibela, kalau tidak terus ngambeg, lalu berbuat aneh-aneh yang justru semakin menyusahkan hidupnya dan hidup orang di sekitarnya.

Aku tidak pernah impress dengan orang yang datang menghiba-hiba sebagai wong cilik.  Apalagi dengan attitude pemberontak, memakai topeng "wong cilik"nya sebagai excuse untuk terus menerus dimanja dan dininabobokan, dibela walaupun salah - capek dech ....

Anak-anakku, dengarkan ibumu.  Jangan pernah membabtis diri sendiri sebagai "wong cilik".  You're never meant to be wong cilik.  Kalau ada nilai-nilai pelajaran yang tidak sebagus yang seharusnya, kalau pekerjaanmu belum mencapai posisi terbaik, itu bukan karena kalian wong cilik, tapi itu proses yang harus kalian jalani, itu anak tangga yang harus kalian daki, untuk menjadi besar dan mulia.  Kalian diberi potensi dan segala kemampuan untuk melakukan hal-hal besar dan mulia, karena Allah Bapa yang menciptakan kalian besar dan mulia.  Di sepanjang perjalanan, tabur benih yang baik, yang mulia, walaupun keadaan kelihatan berlawanan.  Hukum tabur tuai tidak bisa dibelokkan, siapa yang menabur pasti akan menuai.  Siapa yang berjalan, menangis sambil menabur benih, akan pulang membawa berkas-berkasnya dengan sorak sorai.  Ini sebuah keniscayaan.

3 comments:

Jo D' ArPra said...

I LOVE THIS!!! ;))


Regards,

NeoSentra

Erot Titan said...

wow...excellent.... law of attraction...

Son of Anath said...

"We're never meant to be wong cilik"... that's right! let's fight... do our best and let God do the rest, nothing is Impossible! YHBU